Rimpu, Pakaian Adat Yang Terlupakan

Bookmark and Share


Jilbab dengan cadar yang mulai banyak dikenakan muslimah Indonesia menuai pro dan kontra karena dinilai tidak mencerminkan budaya Indonesia, sementara kebaya dinilai sebagai perwujudan dari budaya Indonesia.

Mari kita berkenalan dengan Rimpu, salah satu pakaian adat di Indonesia yang sesuai dengan hukum Islam adalah pakaian adat Suku Bima dan Donggo di Nusa Tenggara Barat. Dikatakan sesuai lantaran menutup aurat perempuan secara sempurna dan tidak menonjolkan lekuk tubuh. Pakaian yang mirip dengan mukena tersebut bernama rimpu, dikenakan oleh masyarakat Bima dan Dompu ketika mereka keluar rumah.

Rimpu menggunakan sarung khas Bima yang terdiri dari dua lembar sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas.

Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai tembe nggoli (sarung songket) terbuat dari kafa mpida (benang kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan muna.

Bila mukena umumnya berwarna putih polos tanpa motif, sedangkan rimpu memiliki beragam motif warna-warni nan cerah. Motif-motif tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).


Taat Syariat Jadi Adat 

Adat mengenakan rimpu berawal dari ketaatan kepada syariat Islam yakni kewajiban menutup aurat perempuan yang sudah baligh, secara sempurna tanpa menonjolkan lekuk tubuh.

Ketaatan terhadap perintah Allah SWT terjadi lantaran adanya dakwah Islam.

Sebelum Islam datang, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi Hindu-Budha dan penduduknya mempercayai arwah-arwah leluhur mereka sebagai penjaga kehidupan. Ajaran Islam mulai masuk Pulau Sumbawa (ibu kota Kerajaan Bima) sejak abad ke-16 mengajarkan tauhid dan juga ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah SWT termasuk berbusana.

Dakwah secara sistematis dan intensif dilakukan secara bergelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak (Jawa), meski banyak yang bersyahadat namun dakwah belum tembus ke pusat kekuasaan.

Penting diketahui, Kesultanan Demak berdiri pada 1479 ditandai dengan dikukuhkannya Raden Patah, Sultan Demak pertama, sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa oleh Sultan Muhammad Al Fatih (1451-1481).

Gelombang kedua dilakukan oleh para da’i dari Kesultanan Gowa (Sulawesi) pada awal abad ke-17. Menurut Bo (catatan kuno Istana Bima/Mbojo), pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640, Sangaji (raja) XXVII Bima La Kai Ta Ma Bata Wadu memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir.

Ia menikah dengan adik istri Sultan Gowa Alauddin yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kassuarang. Kemudian Sangaji Bima XXVII tersebut digelari dengan “Sultan” yaitu Sultan Mbojo I. Saat itu pula berakhirlah Kerajaan Bima yang bercorak Hindu-Budha menjadi Kesultanan Mbojo yang menerapkan syariat Islam.

Bima menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan kebijakan Kesultanan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Mbojo ini, di antaranya Syekh Umar al-Bantani dari Banten, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab.

Memang dakwah disambut baik oleh mayoritas masyarakat, namun ada sebagian kecil tetap mempertahankan kepercayaan nenek moyangnya. Mereka ini lebih memilih pindah ke pegunungan (donggo) dan turun temurun di sana sehingga kelak dikenal dengan sebutan Suku Donggo.

Menurut sejarawan M Hilir Ismail, Sultan Mbojo III Nuruddin (1682-1687) mewajibkan semua wanita yang sudah akil baliqh memakai rimpu apabila hendak ke luar rumah atau pun bertemu dengan lelaki yang bukan mahramnya. Bila masih gadis, seluruh tubuhnya ditutupi rimpu kecuali kedua matanya (rimpu cili). Sedangkan yang sudah menikah wajahnya diperlihatkan (rimpu colo).

Keterangan Ismail diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Kesultanan Islam. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya.




Kini Langka 

Kesultanan Mbojo kerap kali terlibat perang membantu Kesultanan Demak Kesultanan Gowa bahkan Kesultanan Banten untuk melawan penjajahan Kerajaan Belanda. Kekalahan dan kemenangan silih berganti hingga puncaknya di masa Sultan Bima XIII Ibrahim (1881-1915), Bima mendapatkan kekalahan telak.

Sehingga sejak 1905, melalui Kontrak Panjang (Langge Kontrak) segala urusan langsung dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda di Negeri Belanda. Secara de facto, Sultan sudah tidak berkuasa lagi, walhasil Kesultanan Bima benar-benar tinggal simbol.

Meski secara formal hukum Islam sudah tidak tegak lagi, tetapi kaum Muslimin secara budaya tetap berupaya mempertahankan keislamannya termasuk dalam berpakaian Muslimah tersebut melawan sekularisasi yang dilancarkan penjajah Belanda secara massif.

Begitu Belanda hengkang, Mbojo masuk ke pangkuan Republik Indonesia. Alih-alih syariat Islam ditegakkan kembali, pemerintahan yang baru yang dijabat oleh warga pribumi sendiri ini malah melanggengkan sekularisasi yang sudah dirintis Belanda. Kesultaan Mbojo dihapus pemerintah Republik Indonesia pada 2001, seiring dengan wafatnya Sultan Mbojo XV Sultan Abdul Kahir II (1951-2001).

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar